Pendidikan Muhammadiyah Antara Cita dan Fakta

Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, lahir di bumi nusantara ini bukanlah berangkat dari ruang yang serba kosong. Kelahiran Muhammadiyah pada tahun 1912M/1330H tersebut tentunya di latarbelakangi oleh serangkaian kompleksitas persoalan bangsa. Kejumudan keberagamaan serta terpuruknya pendidikan masyarakat Indonesia merupakan beberapa sebab kelahiran Muhammadiyah.

Demikian halnya dengan tingginya angka kemiskinan yang menjadikan bangsa ini seolah di pandang sebelah mata oleh pihak kolonialis, HindiaBelanda. Adalah Ahmad Dahlan (1869-1923) yang mencoba mengurai benang merah persoalan bangsa tersebut. Berbekal pada kapasitas diri Kiai Dahlan yang di atas ratarata, mengajak pria kelahiran kampung Kauman Yogyakarta itu turut andil dalam menyembuhkan penyakit bangsanya. Dalam benaknya, obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit tersebut dapat dilakukan melalui reformasi pendidikan.

Untuk mewujudkan komitmen terhadap reformasi pendidikan, Kiai Dahlan tidak segan-segan dalam berbuat. Sepanjang hidupnya, suami Nyai Walidah (Nyai Dahlan) harus rela mewakafkan seluruh pikiran, harta-benda serta tenaganya demi cita-cita mulia dalam membangun masyarakat Islam di Indonesia. Keberadaan Kiai Dahlan pada masa itu memang dihadapkan dengan segala persoalan masyarakat yang sangat kritis. Corak keberagamaan yang senantiasa “meng-agama-kan budaya” menuntut pria bernama kecil Muhammad Darwisy itu harus bermandi keringat dalam meluruskan kayakinan (aqidah) dan ibadah masyarakat, sebagaimana ajaran Islam yang otentik.

Dalam aspek aqidah, masyarakat Indonesia masih terbelenggu dengan segala praktik-praktik kepercayaan terhadap benda-benda keramat, seperti: keris, tombak, batu aji, percaya adanya hari baik dan buruk serta percaya terhadap kesaktian makam para wali. Begitu pula dengan praktik ibadah, masyarakat masih saja menggabungkan ajaran Islam dengan ritual agama Hindu-Budha. Tidak sedikit di antara masyarakat yang menjalankan selametan, mengirim do’a beserta sesajian terhadap leluhur, upacara kematian hingga masa kelahiran. Beberapa aktivitas masyarakat yang demikian tentunya tidak pernah dapat lepas akan peran ulama di dalamnya.

Potret kehidupan masyarakat sebagaimana disebutkan di atas telah menempatkan para ulama sebagai pusat segala aktivitas keagamaan warga. Di samping sebagai seorang alim yang memiliki kharisma dimata masyarakat, ulama juga berperan sebagai tabib (dokter), konsultan magis serta berfungsi pula menjadi guru. Peran ganda atau multi fungsi yang dimiliki oleh ulama acapkali menyebabkan tokoh kharismatik tersebut sulit dijangkau oleh masyarakat awam. Hanya orang-orang tertentu di sekitar ulamalah yang dapat menjadi komunikator dan/atau mediator. Diantara mereka-mereka yang menjadi mediator tersebut tiada lain adalah para santri yang di didik di pesantren tempat para ulama mengabdikan diri.

Pernyataan Abdurrahman Wahid, sebagaimana dikutip oleh Syafii Maarif (1987: 57), telah menegaskan keberadaan ulama di pesantren. Menurutnya, seorang ulama beserta para pembantunya merupakan satu-satunya hierarki kekuasaan yang sangat diakui di pesantren. Kekuasaan ulama bersifat mutlak atas santrinya. Sehingga para santri merasa terikat dengan ulama sepanjang hidupnya, setidak-tidaknya sebagai sumber ilham dan bantuan moral bagi kehidupan perorangan. Bahkan, ulamaseringkali dianggap sebagai sosok yang ma’shum (tanpa salah). Kategori ulama tersebut, menurut Kuntowijoyo (2001: 36), hanya terjadi pada masa pra-industrial (zaman klasik/zaman pra kemerdekaan). Dalam buku “Muslim Tanpa Masjid; Esai-Esai Agama, Budaya, Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transendental”, Kuntowijoyo menuturkan bahwa hubungan santri dengan ulama terjalin sangat kuat.

Model komunikasi timbal-balik antara santri dengan ulama hanya berjalan melalui oral (lisan). Sesekali, ulama tidak segan-segan untuk datang apabila diundang mantan santrinya. Sebaliknya, para santri dan/atau mantan santri menjadi wajib hukumnya untuk sowan kehadapan ulama. Kedekatan interaksi kultural itu muncul sebagai akibat dari perjalanan waktu yang cukup panjang dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di pesantren.

Penulis : Hardian Rifanza (mahasiswa Prodi Manajemen Universtas Muhammadiyah Purwokerto)



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama