Indonesia,
dengan nama resmi Republik
Indonesia (RI), atau lengkapnya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Indonesia adalah sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara yang
dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan
Oseania, sehingga Indonesia dikenal sebagai negara lintas benua, serta terletak
diantara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia merupakan negara terluas
ke-14 sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah sebesar
1.904.569 km2, dan termasuk negara dengan pulau terbanyak ke-6 di
dunia, dengan jumlah 17.504 pulau. Indonesia terkenal terkenal sebagai negara
yang kaya akan sumber daya alam. Banyak sekali sumber daya alam yang bertebaran
di wilayah Indonesia, baik di bawah tanah maupun di atas tanah. Adapun sumber
daya alam yang dimiliki Indonesia diantaranya adalah sumber bahan tambang dan
sumber daya hutan.
Begitu
luas wilayah Indonesia dari sabang sampai Merauke, 273 juta lebih penduduk
Indonesia, dan beragam sumber daya alam yang melimpah di bumi Indonesia ini.
Selayaknya kita patut bersyukur diberi kelebihan-kelebihan tersebut, dan
seharusnya kita bisa menjadikan negara Indonesia ini negara yang kaya, negara
yang maju. Lantas kenapa hinga saat ini Indonesia masih menjadi negara yang
menduduki predikat negara berkembang? Sistem Pendidikan yang masih tertinggal
jauh dengan negara-negara lain, sistem perekonomian yang masih banyak
dimonopoli oleh orang-orang Indonesia sendiri, sistem SDA yang justru
menenggalamkan rakyat nya sendiri, dan memang masih banyak sistem-sitem di
Indonesia ini yang memerlukan perbaikan bahkan dobrakan yang serius.
Kaya nya
Indonesia akan sumber daya alam banyak dipengaruhi oleh letak Indonesia sendiri
secara geologis, geografis, maritim dan geomorfologis. Berbagai letak dan
posisi Indonesia tersebut banyak dipengaruhi oleh proses geologis yang terjadi.
Hal inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki kandungan mineral yang beragam
dibeberapa tempat, bervariasinya tanaman yang ada di Indonesia salah satunya
yang paling menonjol yaitu tanaman padi dibidang pertanian.
Beragam
kebutuhan pangan menjadi hal yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia.
Kebutuhan tersebut membuat masyarakat harus bisa memanfaatkan sumber daya alam
yang ada di lingkungan sekitar. Sebagian besar masyarakat Indonesia berusaha
memanfaatkan tanah yang kosong menjadi sebuah lahan sawah yang ditanami padi,
sehingga akan menghasilkan bahan pangan yaitu beras yang bisa digunakan untuk
memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Bidang
pertanian ini begitu disoroti oleh pemerintah, yang pada akhirnya menjadikan
hasil bidang pertanian ini menjadi komoditi beras yang di ekspor ke
mancanegara. Negara-negara tersebut meliputi China, Brunei Darussalam, Arab
Saudi, Malaysia, dan lain-lain. Tercatat pada tahun 2021 ekspor beras Indonesia
melonjak hampir 9 kali lipat. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor
beras Indonesia mencapai 317,81 ton pada triwulan 2021. Angka tersebut sangat
fantastis bukan? Lantas apakah angka tersebut bisa menjadi indikasi bahwasannya
negara Indonesia ini sudah memiliki persediaan beras yang berlebih atau bahkan
melimpah? Nah, seharusnya dengan data tersebut kita bisa menyimpulkan
bahwasannya negara Indonesia ini sudah memiliki persediaan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pangan yaitu beras di dalam negeri.
Namun, pada
kenyataannya kebutuhan pangan beras di dalam negeri ini belum bisa memenuhi
kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia. Terbukti di daerah Lanny Jaya Papua
dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir masih dilanda Krisi kelaparan. Hal
ini membuktikan bahwa seharusnya pemerintah lebih memperhatikan masyarakat
khususnya di daerah terpencil akan sumber pangannya seperti beras. Ini
seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini,
tetapi permasalahan justru tidak kunjung selesai hingga saat ini.
Sebuah
data yang bersumber dari compas.com menyatakan bahwa terjadi kelaparan berulang
kali di Papua dan kegagalan sistem pangan Indonesia yang menyebabkan kematian
di Linny Jaya Papua. Yapp, seharusnya permasalahan ini harus jadi momen
evaluasi bahwa ketahanan pangan yang hanya didasarkan angka-angka produksi
beras secara nasional merupakan pendekatan yang keliru.
Pemerintah
sudah menyiapkan solusi yaitu program food estate untuk menjawab persoalan
produksi pangan di negeri ini. Namun program tersebut tidak bisa dikategorikan
layak dilaksanakan di daerah Merauke Papua. Karena yang jelas produksi pangan
atau program pemerintah seperti food estate dengan komoditas padi yang
dikembangkan di Merauke, bukanlah jawaban yang tapat untuk Papua. Food estate
tidak akan bisa mengatasi kelaparan di daerah pedalaman, tapi perlu
dikembangkan kedaulatan pangan local berbasis keberagaman sumber pangan. Nah,
alangkah baiknya jika pemerintah bisa bekerjasama dengan masyarakat Papua dalam
mengatasi permasalahan krisis produksi pangan agar Papua menjadi daerah yang lebih
maju.
Pemerintah
kurang menyadari kebutuhan masyarakat Papua akan sumber pangan yang harus
dipenuhi. Seharusnya pemerintah bisa memberikan wewenang kepada masyarakat
Papua dalam mengelola sumber daya alamnya sendiri, tentunya dengan pengawasan
dari pemerintah. Karena selama ini masyarkat Papua tidak merasakan dampak dari
program food estate. Masyarakat Papua masih mengandalkan sumber daya alamnya
sendiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya sehari-harinya. Terbukti dengan
adanya kasus kegagalan yang sudah pernah terjadi atas program food estate yang
ada di Papua. Yang awalnya direncanakan untuk didominasi tanaman pangan seperti
beras, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya, saat ini faktanya lebih
banyak didominasi industri perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Nah, ini menunjukkan bahwa program food estate tidak berhasil di Merauke.
Lantas
dengan cara apalagi pemerintah bisa mengatasi permasalahan produksi pangan di
Papua? Apakah masih tidak mau bekerjasama agar masyarakat Papua bisa mengolah
sumber daya alamnya sendiri? Haruskah masyarakat Papua mengalami krisis pangan
lagi, hingga megakibatkan kematian seperti tahun-tahun sebelumnya? Tolong
pemerintah segera carikan solusi untuk permasalahan ini. Di mancanegara kita
sudah terkenal sebagai negara yang kaya akan sumber dayanya yang melimpah, tapi
pada kenyatannya apa? Masyarakat di dalam negeri nya masih mengalami yang
namanya kelaparan.
Pemerintah
sampai saat ini masih fokus menekan angka impor beras ke dalam negeri dan lebih
kiat dalam membengkakkan angka ekspor beras ke luar negeri. Mengungkap data
yang dirilis BPS (Badan Pasat Statistik) bahwa sejak tahun 2019 hingga saat
ini, Indonesai belum melakukan impor beras Bulog dalam memenuhi kebutuhan
nasional. Tercatat pada tahun 2019, beras surplus sebesar 2,38 juta ton, tahun
2020 surplus 2,13 juta ton dan pada tahun 2021 surplus 1,31 juta ton. Berikut
merupakan capaian yang nyata di era pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin. Jadi disini
terbukti pemerintah berhasil mencapai targetnya, dengan produksi beras yang
setiap tahun mengalami surplus lebih tinggi dari kebutuhan konsumsinya,
sehingga ketersediaan aman dan lebih dari cukup, bahkan Indonesia sudah bisa
dikatakan swasembada beras.
Hello
pemerintah.. fakta tersebut begitu mengejutkan. Kebutuhan konsumsi beras di
Indonesia itu belum cukup menutupi krisis pangan di dalam negerimu ini. Lantas apakah
benar-benar bisa negara Indonesia dibanggakan dengan predikat “swasembada
beras”?. Tolong lakukan upaya yang optimal dalam memenuhi kebutuhan pangan
beras yang ada di dalam negeri terlebih dahulu. Data yang menunjukkan produksi
beras lebih tinggi daripada kebutuhan konsumsinya, apakah seharusnya harus
dikaji ulang? Rakyat di negeri Papua mu masih mengalami kelaparan Pak, masih
mengalamai krisis pangan hingga menyebabkan kematian loh. Kalau memang produksi
beras itu berlebih, tolong penuhi dulu kebutuhan di Papua atau daerah-daerah
pedalaman yang masih belum merasakan hasil produksi beras ini. Apakah masih
mengandalkan kendala akses yang sulit dijangkau? Harusnya tidak! Harusnya
pemerintah sudah bisa mengatasi permasalahan tersebut dan harusnya bisa menyamaratakan
pemenuhan kebutuhan pangan khusunya beras seluruh rakyat Indonesia.
Penulis : Merli Tria Pratiwi (mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Sekolah Tinggi
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Muara Bungo)