Perselisihan Penentuan Awal Ramadhan dan Idul Fitri

Sering terjadi perselisihan dan pro kontra mengenai penetapan awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri dalam lingkup Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama. Terjadi berbagai perbedaan yang menyebabkan terjadinya perbedaan awal Puasa Ramadhan dan awal Hari Raya Idul Fitri.  Perbedaan pendapat ini terjadi karena adanya beda dalam memahami nash (dalil) dan metode pengambilan hukumnya (istinbath). Ada pula yang mengaplikasikan secara independen metodologi hisab (Wujudul Hilal), Ada juga yang menggunakan metode Rukyatul Hilal. Meski mereka juga melakukan penghitungan secara astronomis (hisab), namun keputusannya masih menunggu hasil pemantauan hilal.

Sementara pemerintah, sesuai fatwa MUI No 2 tahun 2004, menggunakan keduanya, hisab dan rukyatul hilal. Hasil perhitungan hisab digunakan sebagai informasi awal, dan selanjutnya dikonfirmasi melalui mekanisme rukyat. Hasil hisab dan rukyat selanjutnya dibahas bersama dengan ormas Islam, duta besar negara sahabat, serta para pakar dalam Sidang Isbat. Selain itu, sebagai penengah, pemerintah juga terus menginisiasi penggunaan metode “imkaan al-ru’yah” dan terus mensosialisasikan hal ini kepada seluruh masyarakat.

Perbedaan pendapat dalam Fikih itu biasa, sesuatu yang lumrah dan wajar terjadi. Meski demikian, dalam masalah yang penting dan menyangkut kepentingan orang banyak, semestinya keputusan pemerintah menjadi solusi untuk ditaati. Perbedaan pendapat dalam hal penentuan awal Ramadhan memang tidak dilarang, dan juga tidak mutlak harus taat kepada keputusan pemerintah. Namun untuk prinsip “kemaslahatan publik ”(al-maslahah al-‘âmmah) sudah seharusnya menjadi perhatian dan bersedia menghilangkan sikap ego kelompok masing-masing. Begitu juga dengan kaidah Tasharruf al-ra'i ala al-ra‘iyah manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin terhadap rakyatnya dituntun oleh prinsip kemaslahatan umum). Artinya, pendapat yang paling didengar adalah yang paling maslahat untuk masyarakat.

Muhammadiyah mengacu pada gerak faktual Bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan Bulan. Metode hisab ini dikenal dengan hisab hakiki. Alasan Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki karena perhitungan yang dilakukan terhadap peredaran Bulan dan Matahari menurut hisab ini harus sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya berdasarkan Bulan dan Matahari pada saat itu.

Dalam metode hisab hakiki ini, Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal, yakni Matahari terbenam lebih dulu daripada Bulan walaupun hanya selang satu menit atau kurang. Ide ini dicetuskan oleh pakar falak Muhammadiyah, Wardan Diponingrat. Disebutkan dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, dengan metode hisab hakiki wujudul hilal, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat Matahari terbenam terpenuhi tiga syarat secara kumulatif.

Adapun, syarat yang dimaksud adalah, telah terjadi ijtimak, ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, dan pada saat Matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan akan digenapkan menjadi 30 hari dan bulan baru dimulai lusa. Muhammadiyah berpandangan, metode hisab hakiki wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan metode hisab lainnya, seperti hisab hakiki imkanur rukyat. Bagi Muhammadiyah, jika posisi Bulan sudah berada di atas ufuk pada saat Matahari terbenam di seluruh Indonesia, berapapun tingginya (meskipun hanya 0.1°), maka keesokan harinya sudah masuk bulan baru.

Penulis : Dhiva Alfath Al Dhani (mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah Purwokerto)



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama