Peran Muhammadiyah Untuk Generasi Baru

Saya merupakan seorang mahasiswa yang kurang lebih 2 tahun belakangan ini tinggal di lingkungan Muhammadiyah, salah satu organisasi islam yang ada di Indonesia. Saya yang sebelumnya tinggal di lingkungan organisasi masyarakat yang lain yaitu NU (Nahdlatul Ulama) merasakan beberapa perbedaan kebiasaan masyarakat dalam berorganisasi.

Menurut sudut pandang saya berdasarkan lingkungan sekitar, Muhammadiyah merupakan perserikatan atau organisasi islam yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912. Muhammadiyah itu terdiri dari tiga hal penting antara lain yaitu ideologi, ajaran dan semboyan. Ideologinya adalah sistem keyakinan, ajarannya adalah amar ma'ruf nahi mungkar, sedangkan semboyannya adalah fastabiqul Khairat yang artinya berlomba dalam kebaikan. Kemudian kultur dari Muhammadiyah ini diambil dari tujuan pendirikannya. Namun apa itu tujuan dari pendiriannya? Tujuannya yaitu untuk pemurnian islam agar dapat membentengi  islam atau menyatukan umat islam dari takhayul, bid’ah, dan khurafat. Maksud dari ketiganya adalah :

  • Takhayul. Yaitu percaya pada hal-hal yang belum tentu benar terjadi atau istilah lainnya itu mitos.
  • Bid’ah. Yaitu melakukan sesuatu yang tidak ada pada zamannya Nabi. Bid’ah ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bid’ah dolalah yang artinya buruk dan bid’ah hasanah yang artinya baik/bagus.
  • Khurafat. Yaitu suatu kepercayaan yang tidak masuk akal, seperti percaya pada apa yang dikatakan oleh dukun.

Muhammadiyah juga memiliki budaya yang telah dikenal oleh masyarakat yaitu terdapat tajdid yang artinya pembaharuan dan purifikasi yang artinya pemurnian islam. Di dalam prakteknya Muhammadiyah lebih menghindari  hal-hal ataupun ibadah-ibadah yang mungkin masih bersifat  subhat (hal-hal yang masih rancu). Misalnya, ibadah-ibadah yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan sunnahnya. Jadi Muhammadiyah lebih berhati-hati dalam hal yang berkaitan dengan beribadah tidak seperti NU (Nahdlatul Ulama) yang masih bisa mentolerir adanya bid’ah hasanah, seperti melakukan tahlil walaupun Rasulullah tidak melakukan itu.

Berdasarkan standar keilmuannya atau kultur keilmuannya, Muhammadiyah kembali ke ajaran al-qur’an dan sunnahnya sedangkan NU (Nahdlatul Ulama) yang paham tentang ajarannya biasanya hanya para ulamanya saja. Jadi orang-orang ataupun warga dari NU (Nahdlatul Ulama) lebih condong untuk merujuk ke satu ulama sedangkan warga Muhammadiyah akan kembali ke ajaran al-qur’an dan sunnah apakah telah sesuai atau tidak, bukan merujuk kepada para ulama seperti NU (Nahdlatul Ulama).

Di Muhammadiyah juga biasanya para pemuda-pemudinya sering berkumpul bersama untuk membahas mengenai ajaran Islam kepada masyarakat agar dapat membentuk Islam yang kaffah, yang artinya Islam yang keseluruhan dari sifat sikap dan perbuatan harus sesuai dengan ajaran al-qur'an dan hadist. Oleh karena itu, muhammadiyah dapat memberikan ajaran kepada masyarakatnya mengenai bagaimana kehidupan beragama dan sosial.

Organisasi Muhammadiyah terbagi menjadi beberapa poin, antara lain yaitu : Pemuda Muhammadiyah (PM), Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiah (NA), Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dan Tapak Suci

Organisasi-organisasi tersebut biasanya membahas tentang kajian-kajian islam yang berpedoman pada al-qur’an dan juga hadist. Lalu, Muhammadiyah juga memiliki beberapa kebiasaan masyarakat yang menjadi hal baru bagi saya, dan hal ini cukup menarik untuk dibahas, antara lain :

Pertama, yaitu tidak adanya pengajian (tahlil) untuk memperingati hari kematian seseorang. Pengajian ini contohnya seperti untuk memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan bahkan 1000 hari dari meninggalnya seseorang tetapi di Muhammadiyah adanya hanya mendoakan setiap setelah sholat terutama untuk keluarga yang harus didoakannya. Dengan tidak adanya acara pengajian tersebut, dikarenakan Muhammadiyah tidak menganut mazhab apapun. Berbeda dengan NU (Nahdlatul Ulama) yang memperingati hari-hari penting  tersebut walaupun hal ini tidak diwajibkan, namun dianggap bahwa jika lebih banyak yang mendoakan maka doanya akan semakin cepat terkabul untuk orang yang telah berpulang kesisi Allah SWT. supaya dapat khusnul khotimah.

Kedua, yaitu tidak diamalkannya doa qunut ketika sholat subuh. Hal ini dikarenakan didalam ajarannya, Muhammadiyah itu tidak diwajibkan untuk membaca doa qunut. Namun, terdapat qunut lain yang dibaca ketika terjadi musibah, contohnya longsor atau gempa bumi. Doa ini dinamakan qunut nazilah. Qunut nazilah ini diamalkan setiap setelah sholat lima waktu (bersifat sunnah).

Ketiga, dalam melaksanakan sholat tarawih. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara NU (Nahdlatul Ulama) dengan Muhammadiyah yaitu  jika NU (Nahdlatul Ulama) ketika melakukan sholat tarawih biasanya berjumlah 23 rakaat sedangkan Muhammadiyah hanya ada 11 rakaat.

Kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah yang saya ketahui di lingkungan sekitar saya. Walaupun memiliki kebiasaan yang sedikit berbeda antara NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah, hal itu tidaklah menjadi masalah besar. Karena menurut saya, antara NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhamadiyah merupakan hal yang sama. Keduanya sama-sama bertujuan untuk membangun islam agar dapat menciptakan masyarakat yang peduli akan ajaran agama yang sesuai dan yang telah ditentukan. Sehingga nantinya untuk generasi baru yang akan datang dapat mewujudkan tujuan tersebut dan dapat mengamalkan ajaran-ajarannya sampai ke generasi selanjutnya.

Penulis : Nur Apni Wulandari (mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Muhammadiyah Purwokerto)

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama