Purbalingga, Jawa Tengah-Harga komoditas energi melambung tinggi sejak tahun 2021 karena pemulihan ekonomi pasca Covid-19 yang menyebabkan permintaan energi global sementara pasokan masih terbatas. Invasi Rusia ke Ukraina telah memperburuk situasi, semakin meningkatkan ketidakpastian pasokan dan mendorong harga minyak mentah dan gas alam ke rekor tertinggi.
Para pakar di bidang ekonomi memprediksi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berjenis Pertalite, Solar, serta Pertamax sejak 3 September 2022. Harga perlite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter (naik kurang lebih 30,7%), harga solar berasal Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter (naik kurang lebih 32%), pertamax asal Rp 12.500 per liter Rupiah naik sebagai 14.500 rupiah per liter. Kenaikan holistik untuk ketiga jenis bahan bakar kurang lebih 26%.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bukanlah suatu hal yang baru bagi rakyat Indonesia. Tetapi, jika kita melihat lingkungan usaha, beberapa hal bersifat bergerak maju dan bisa berpindah dari satu sektor ke sektor lainnya, dan isu berita ini perlu ditangani untuk menjaga stabilitas sistem ekonomi, politik dan sosial. Di sistem ekonomi, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) secara signifikan akan meningkatkan biaya produksi serta berkontribusi pada (cost push inflation) yang gilirannya akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, penurunan upah riil serta konsumsi rumah tangga. Padahal, kita memahami bahwa konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi yang sangat tinggi (sekitar 50%) terhadap PDB serta pendorong primer pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Melonjaknya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi suatu perhatian yang dikhawatirkan akan menanggung dampak bagi publik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Salah satu dampak jangka panjang yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah terhadap tingginya inflasi. Pada tahun 2022 inflasi akan mencapai 6,6 sampai 6,8 persen. Semakin laju inflasi semakin tinggi maka semakin berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi serta menambah jumlah kemiskinan di Indonesia.
Inflasi menyebabkan dampak buruk untuk aktifitas perekonomian juga kesejahteraan warga. Dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) semakin akan terasa dari tingginya barang–barang yang terdapat di pasaran, tingginya harga jual, naiknya biaya produksi di pasaran sebagai akibatnya perusahaan akan menaikan harga jual, dan permintaan akan turun akibatnya dalam jangka panjang akan terjadi over suplay.
Sejumlah bahan kebutuhan utama di pasar tradisional, khususnya cabai mulai merangkak naik. Kenaikan itu efek dari kenaikan harga BBM sebab rata-rata pasokan cabai di datangkan dari luar Kota Purbalingga. Untuk memfokuskan laju kenaikan harga kebutuhan pokok, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Dinperindag) Kabupaten Purbalingga segera melakukan pengawasan.
“Saya setiap hari memonitor harga kebutuhan pokok terutama harga cabai di Pasar Padamara. Walaupun harga kebutuhan pokok terutama cabai di Pasar Padamara mengalami kenaikan,” ucap Dinperindag dalam keterangannya, Sabtu (17/9/2022).
Berdasarkan hasil pantauan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Dinperindag) Kabupaten Purbalingga, kenaikan harga mencapai lebih dari tiga kali lipat dengan dibandingkan harga sebelumnya. Dengan adanya pengawasan tersebut bertujuan untuk memastikan ketersediaan bahan pokok dan memantau harga.
Dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) membuat harga cabai di Pasar Padamara, Kabupaten Purbalingga mulai meroket. Para pedagang di Pasar Padamara mengaku melambungnya harga cabai telah terjadi sejak sepekan terakhir.
Data dari pantauan di Pasar Padamara, seluruh jenis harga cabai harganya melambung tinggi. Diantaranya cabai merah Rp45.000 per kilo, cabai rawit merah Rp50.000 per kilo. Untuk harga cabai merah sebelum kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Rp40.0000 per kilo, sesudah harga bahan bakar minyak (BBM) naik harga cabai merah menjadi Rp45.000 per kilo, sedangkan harga cabai rawit merah sebelum kenaikan bahan bakar minyak (BBM) Rp40.000 per kilo, sesudah harga bahan bakar minyak (BBM) naik harga cabai merah rawit menjadi Rp50.000 per kilo.
Soiroh yang merupakan salah satu pedagang cabai di Pasar Padamara mengatakan, bahwa saat ini semua harga cabai melambung. Dengan melambungnya harga cabai di Pasar Padamara salah satunya adalah tingginya ongkos transportasi seiring kenaikan BBM. Soiroh mengatakan dampak kenaikan harga BBM membuat rendahnya daya beli konsumen terhadap cabai. Jika pada awalnya dia bisa mendagangkan 10kg cabai /hari, saat ini selalu kurang dari itu.
“Pedagang cabai untuk situasi seperti ini enggan untuk menyetok cabai daganganya, lantaran rendahnya tingkat daya beli cabai dan ketahanan cabai tidak lama, sehingga cabai akan membusuk para pedagang akan mengalami kerugian” kata soiroh salah satu pedagang cabai di Pasar Padamara.
Sementara itu, hal ini juga dirasakan oleh Darmini yang merupakan konsumen cabai di Pasar Padamara, ia mengatakan terpaksa mengurangi pembelian cabai untuk digunakan sebagai bumbu masakan serta tetap menjaga stabilitas pengeluaran.
“Saya biasanya berbelanja 1 kg/hari, namun karena sekarang harganya naik hanya bisa beli ½ kg/hari. Selain itu, saya juga mengurangi porsi cabai sebagai bumbu dapur,” katanya. Dengan adanya hal ini, pedagang dan pembeli merasakan jeritan kesengsaraan dengan adanya peningkatan harga-harga kebutuhan pokok.
Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi dalam langkah awal pengendalian inflasi di tingkat Kabupaten Purbalingga, ia berharap agar Diperindag ikut serta dalam memantau adanya kenaikan harga komoditas.
“Perlu adanya update info harga-harga kebutuhan pokok yang naik, agar nanti hegemoni kita bisa pas. bila memang semuanya naik, ya mau tidak mau kita harus menyalurkan BLT," ujar Bupati Tiwi.
Namun jika hanya beberapa harga komoditas yang naik, pihaknya mencari solusi lain, seperti manipulasi pasar. Arahan selanjutnya, bupati ingin memiliki data laju inflasi khusus untuk bupati Purbalingga.
Karena selama ini, angka inflasi Purbalingga masih mengacu pada Kabupaten Cilacap dan Banyumas. Terkait adanya bansos yang dapat disalurkan oleh Kemensos, Bupati meminta keakuratan dan kewajaran data penerima. Setelah mengumumkan kenaikan harga BBM akibat pengalihan subsidi, pemerintah pusat mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menghadapi kemungkinan dampak inflasi. Dalam kebijakan ini, pemerintah daerah dan desa harus terlibat dalam mengatasi masalah tersebut melalui dukungan sosial.
Seperti yang diketahui, terdapat tiga kebijakan bantalan sosial yang disiapkan Presiden RI. Pertama, pemberian bantuan langsung tunai (BLT) oleh Kemensos sebesar Rp 150.000 empat kali kepada KPM. Kedua, bantuan subsidi upah (BSU) sebanyak Rp 600.000 kepada pekerja dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta/bulan. Ketiga, dukungan pemda 2% dari Dana transfer umum (DTU) yakni DAU serta DBH untuk subsidi sektor transportasi, diantaranya angkutan umum, ojek, dan nelayan, serta untuk proteksi sosial tambahan. Ketiga, pemerintah daerah mendukung 2% dari Dana Transfer Umum (DTU), yaitu DAU dan DBH, untuk subsidi sektor transportasi, termasuk angkutan umum, ojek dan nelayan, serta tambahan perlindungan sosial.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Prof M Tito Karnavian mengatakan, selain dukungan anggaran DTU sebesar 2%, dana APBD reguler berupa belanja tak terduga (BTT) dapat digunakan pemerintah daerah untuk mengendalikan inflasi daerah. Arahan ini telah disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 500/4825/SJ tanggal 19 Agustus 2022. Dana desa hingga 30% digunakan untuk memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terkena dampak inflasi. Terkait penggunaan dana desa juga disahkan melalui Kepmendesa Nomor 97 Tahun 2022 tentang Pengendalian Inflasi Desa dan Dampak Inflasi Daerah. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain kegiatan swakelola, kerja padat karya desa, transformasi BLT dan BUMDes.
Penulis : Danica Salsava Tanusi (mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto)