Wirausaha Dan Tantangan Para Pebisnis Muslim

Tagline menjadi PNS supaya jadi menantu idaman nampaknya saat ini telah bergeser. Sebab, masyarakat hari ini menjadikan sosok-sosok seperti Raffi Ahmad, Atta Halilintar serta Boy William sebagai preferensi kesuksesannya. Masyarakat terutama generasi muda sekarang yang notabene adalah generasi Z lebih menyukai pekerjaan yang tidak mengikat, tidak full time work 8 hours, tetapi pendapatannya tinggi. Menjadi seorang entrepreneur atau wiraswasta sepertinya menjadi jawaban pekerjaan yang mereka inginkan.

Menurut KBBI, wiraswasta adalah orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Kalau dilihat dari definisi ini, sejatinya menjadi wirausaha adalah pekerjaan yang mengharuskan kita mampu survive secara mandiri dan menghandle bisnisnya secara menyeluruh. Seorang wirausaha harus bisa memilih bahan baku produksi, menyusun alur produksi, menentukan sasaran pasar, memetakan model marketing yang akan digunakan serta menjalin relasi bisnisnya.

Sebetulnya tidak ada standar baku yang menyatakan bahwa berwirausaha adalah pekerjaan yang keren dan berkelas, yang berbeda dengan jika hanya menjadi karyawan. Tetapi berwirausaha adalah salah satu diantara pekerjaan yang mulia. Sebab dengan berwirausaha kita turut serta membantu menyelesaikan kebutuhan orang lain, dengan jasa atau barang yang kita berikan. Bahkan, jika kita memiliki karyawan, maka kita berperan menjadi wasilah rizki untuknya. Maka tidak jarang, seseorang memilih berbisnis dengan harapan bisa berkontribusi lebih luas kepada sesama dengan materi yang ia punya.

Berwirausaha, jika sudah luas cakupannya, maka akan membawa pengaruh ditengah masyarakat. Pemilik bisnis eat and food kekinian dengan brand yang sudah terkenal misalnya, ia turut menjadi penyedia sekaligus pengolah bahan makanan dan minuman yang akan disajikan ditengah masyarakat. Secara tidak langsung, keberadaannya mampu menjadi pengendali atas standar sosial tentang makanan yang ia dan korporasinya citrakan. Bahwa misalnya, standar keren itu bisa dilihat kalau seseorang sudah bisa ngopi di suatu brand tertentu  Pemilik industri besar skincare dan pakaian juga secara tidak langsung bisa mendesain beauty standard ditengah-tengah kita dengan menampilkan bahwa standar kecantikan itu kalau wajah kita glowing seperti aktor atau aktris tertentu, dimana aktor atau aktris tersebut ternyata adalah brand ambassador bagi brand bisnisnya. Maka, wirausaha bukan lagi hanya tentang berjualan produk, tetapi eksistensi mereka mampu menjadi pengendali konstruk sosial yang diopinikan ditengah masyarakat.

Sebagai seorang muslim, yang salah satu visi hidupnya adalah bermanfaat untuk sesama, yang kemudian memilih berwirausaha sebagai jalan untuk merealisasikan visi tersebut, sudah seharusnya kita menjadikan Islam sebagai motivasi terbesar, cara pandang serta panduan dalam berwirausaha.

Dalam konsep ekonomi kapitalis, kita diajarkan prinsip kegiatan ekonomi "berkorban sekecil-kecilnya untuk hasil yang sebesar-besarnya", darisinilah ada diantara para pebisnis-terutama yang baru memulai usahanya-menjadi orang yang bermental instan dalam berusaha. Inginnya cepat kaya padahal baru berbisnis satu bulan. Inginnya langsung sukses tanpa pernah merasakan kegagalan lebih dulu. Hal ini juga mendorong para pebisnis untuk sebisa mungkin menekan biaya produksi, entah dengan memangkas upah para buruh ataupun memilih resource dengan grade yang rendah untuk keperluan produksi bahkan ada industri yang memilih abai terhadap kesehatan lingkungan karena menganggap biaya penanganan dikategorikan sebagai beban sehingga harus diminalisir. Padahal, berwirausaha itu bukan hanya untuk mencari keuntungan saja, lalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kalau begitu, apa bedanya wirausahawan muslim dengan wirausahawan kapitalis ?

Kita juga diajarkan, menurut teori ekonomi kapitalis bahwa manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi sehingga tentu harus ada alat pemuasnya. Alat pemuas itu mereka sebut dengan barang dan jasa. Barang esensinya adalah alat pemuas kebutuhan manusia yang dapat diindera dan dirasakan. Jasa adalah alat pemuas kebutuhan manusia yang tidak dapat diindera tapi dapat dirasakan. Lalu apa yang menyebabkan barang dan jasa bisa menjadi alat pemuas kebutuhan ? Menurut mereka, yang menyebabkan ialah adanya utility (nilai guna) pada suatu barang dan jasa. Sehingga, selama suatu  barang dan jasa memiliki memiliki nilai guna, disitulah barang dan jasa tersebut bisa menjadi alat pemuas kebutuhan, yang berarti barang dan jasa tersebut dibutuhkan atau lebih tepatnya diinginkan oleh masyarakat. Inilah yang menyebabkan mereka memandang sesuatu itu memiliki nilai guna (utility) berdasarkan kacamata ekonomi saja, walaupun menyelisihi norma ataupun prinsip agama. Khamr dan candu misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai guna karena banyak masyarakat yang menginginkannya. Maka darisinilah kita bisa melihat bahwa industri Soju, minuman beralkohol dan sejenisnya tetap diproduksi dan dipasarkan karena masih ada yang menginginkannya. Mereka menjadikan manfaat sebagai tolok ukur produksi, bukan lagi standar syariat.

Disinilah tantangan bagi para pebisnis muslim agar senantiasa memegang teguh prinsip syariat dalam berbisnis, tidak tergerus oleh sistem kapitalis dan tuntutan tren yang menyalahi syariat. Sebab, berbisnis sejatinya adalah bagaimana kita men-deliver kebutuhan masyarakat dengan cara sebaik-baiknya, dalam rangka mencari keridhoan Allah SWT, bukan semata-mata mencari keuntungan.

Penulis : Dhiya Hanun (mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto)



8 Komentar

  1. Prof. Moha Asri menyebutkan perbedaan antara halalpreneur dan pengusaha. Dalam konsep pelaku usaha halalpreneur melakukan usahanya berdasarkan Maqasid Syariah, yaitu melindungi agama, kehidupan, intelektual, keturunan, dan harta. Sedangkan pengusaha lainnya hanya berdasarkan hukum negara dan profit. Lingkup yang dikerjakan juga berbeda, halalpreneur berlandaskan pengetahuan bisnis ekonomi syariah, dan menjadikan Allah sebagai pemangku kepentingan (stakeholder).

    BalasHapus
  2. Prof. Moha Asri menyebutkan perbedaan antara halalpreneur dan pengusaha. Dalam konsep pelaku usaha halalpreneur melakukan usahanya berdasarkan Maqasid Syariah, yaitu melindungi agama, kehidupan, intelektual, keturunan, dan harta. Sedangkan pengusaha lainnya hanya berdasarkan hukum negara dan profit. Lingkup yang dikerjakan juga berbeda, halalpreneur berlandaskan pengetahuan bisnis ekonomi syariah, dan menjadikan Allah sebagai pemangku kepentingan (stakeholder).
    (Delia Rahma Putri)

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah jadi tambah wawasan

    BalasHapus
  4. alhamdulillah sedikit banyaknya , saya jadi mengetahui ilmu dalam berwirausaha (adinda yuni sella)

    BalasHapus
  5. Salsabila Fatimatuzzahra17 Oktober 2022 pukul 19.18

    Nama: Salsabila Fatimatuzzahra
    Prodi pai
    Nim 2106010056
    Ilmu yang sangat bermanfaat untuk kita semua

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya setuju dengan artikel ini, Tantangan bagi para pebisnis muslim agar senantiasa memegang teguh prinsip syariat dalam berbisnis, tidak tergerus oleh sistem kapitalis dan tuntutan tren yang menyalahi syariat. Sebab, berbisnis sejatinya adalah bagaimana kita men-deliver kebutuhan masyarakat dengan cara sebaik-baiknya, dalam rangka mencari keridhoan Allah SWT, bukan semata-mata mencari keuntungan.

      Hapus
  7. Masyaallah, ilmunya sangat bermanfaat sekali

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama