Tidak Selamanya Non Skripsi Itu Membahagiakan, Banyak Pula Sakitnya

Beberapa waktu lalu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim secara resmi tidak mewajibkan skripsi sebagai syarat utama kelulusan mahasiswa S1 dan D4 (sarjana terapan). Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, sehingga syarat kelulusan tersebut akan diserahkan kepada masing-masing kepala program studi (kaprodi) di perguruan tinggi.

Tak pelak adanya peraturan tersebut mendapatkan berbagai respon positif dan negatif di kalangan mahasiswa. Bagi mereka yang merespon positif menjadi alternatif untuk menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk artikel ilmiah, prototipe, dan lainnya sesua dengan ketentuan peraturan tersebut. Artinya, skripsi tidak harus tebal-tebal atau membuat produk prototipe yang sesuai keahlian. Namun, bagi mereka yang menyambut negatif peraturan ini sama saja dengan skripsi pada umumnya, sebab persaingan menembus artikel di jurnal ilmiah tidaklah mudah.

Salah satu mahasiswa yang menyelesaikan kuliah menggunakan artikel ilmiah adalah dr. Titik Kusumawinakhyu, M.Biomed yang memutuskan kuliah kembali di Prodi Magister Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Ia menggunakan artikel ilmiah yang telah dipublikasikan di salah satu jurnal Sinta 3 dengan banyak mendiskusikan dengan Kaprodi dan dosen pembimbing tesisnya, apalagi ia sebagai seorang dokter, dosen, dan mahasiswa tidaklah mudah untuk membagi waktu untuk menyelesaikan artikel.

“Kendala yang dihadapi lebih pada persoalan teknis, sehingga membutuhkan banyak referensi nasional dan internasional yang harus dikumpulkan. Alhamdulillah, dosen pembimbing sangat bijak dalam membantu proses penyelesaikan penelitian sampai dengan artikel tersebut terbit” kenang  dr. Titik Kusumawinakhyu, M.Biomed. yang awalnya ingin mengambil tesis pada umumnya, tetapi setelah mengikuti matakuliah publikasi ilmiah semakin memantapkan dirinya untuk mengambil artikel ilmiah dengan membayar 300.000 untuk biaya publikasinya. Ia sengaja kuliah kembali dan mengambil studi yang berbeda, sebab di FK UMP ia juga mengurusi bidang keislaman.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Lidia Fathaniyah dalam menyelesaikan kuliahnya di Prodi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang menyelesaikan kuliahnya dengan artikel ilminya. Menurutnya artikel ilmiah memiliki potensi untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah sehingga dapat meningkatkan visibilitas penelitian dan prestasi akademis sebagai langkah awal untuk menjadi akademisi, selain itu artikel ilmiah lebih efisien dalam hal waktu. Bagi Lidia yang saat sedang menempuh Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta memilih artikel ilmiah adalah suatu kepuasan dan pengalaman tersendiri dalam menyelesaikan tahapan penelitian dan penyusunan artikel karena sebagai langkah awal saya dalam membuat artikel-artikel ilmiah selanjutnya yang lebih baik lagi.

“Dosen pembimbing proaktif dalam membantu penyusunan artikel ilmiah dengan cara memberikan masukan atau saran mendalam mengenai penelitian saya. Membantu dalam menemukan literatur yang relevan dan penting sebagai sumber bacaan yang terkait dengan penelitian. Membimbing dalam memilih jurnal ilmiah dan memandu dalam prosesnya. Jadi, yang paling penting dosen pembimbing proaktif dalam memberikan dukungan dan dorongan untuk menjaga semangat saya dalam menyelesaikan artikel ilmiah tersebut” kenang Lidia yang waktu itu skripsinya juga mendapatkan Beasiswa Riset BAZNAS RI.

Bagi Lidia suka duka dalam mengambil artikel ilmiah yaitu membantu saya dalam mengembangkan keterampilan menulis yang bisa bermanfaat ke depannya kemudian menyelesaikan dan mempublikasikan artikel ilmiah bisa menjadi prestasi pribadi yang membanggakan. Sementara dukanya proses koreksi dan revisi artikel ilmiah yang cukup mlelahkan karena harus berulang kali melakukan revisi sebelum artikel ilmiah diterbitkan oleh jurnal ilmiah bahkan biaya yang dikeluarkan untuk publikasi artikel ilmiah kurang lebih Rp. 500.000.

Hal yang sama dirasakan oleh Fairuz Zulfa Adinda dalam menyelesaikan studinya dengan menggunakan artikel ilmiah di Program Studi Pendidikan Agama Islam S-1 Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Menurutnya artikel ilmiah merupakan tantangan dan pengalaman baru yang berbeda dengan mahasiswa lainnya, sekalipun terdapat berbagai kendala yang harus dihadapi. Salah satunya ketidaktahuan bahwa artikel ilmiah sebagai pengganti skripsi harus diterbitkan di luar perguruan tinggi (UMP).

“Kendala lain, disamping saya menyusun artikel ilmiah, saya juga mengerjakan skripsi karena takut dengan kemungkinan buruknya artikel yang di-submit tidak lolos, jadinya saya masih punya skripsi untuk dijadikan tugas akhir memperoleh gelar sarjana. Namun, ketika artikel saya masuk tahap riview, harus direvisi dan berkejaran dengan waktu siding. Pokoknya, seru!” kenang Fairuz.

Pada saat sebelum mengirimkan Fairuz diminta membuat ORCID. Hal baru yang baru dengan apa itu ORCID. Dengan kebingungan tersebut, ia pun dibantu oleh dosen pembimbing termasuk dalam memperbaiki artikel dan membuat akun ORCID. Fairuz melalui seluruh proses perjalanan artikel yang ia submit salah satu jurnal di Universitas Wahid Hasyim Semarang secara teliti sesuai dengan catatan editor dan reviewer. Ia membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan mengikuti proses tersebut termasuk di antaranya harus membayar 250.000 untuk biaya publikasi.

Nah! Gaes. Bila kalian ingin memakai artikel ilmiah sebagai pengganti skripsi. Harus bersedia menyediakan banyak waktu, pikiran, dan biaya.




4 Komentar

  1. AJENG SAFITRI RAHAYU 221101066

    BalasHapus
  2. JESLIN OKTAVIA 2211010070

    BalasHapus
  3. M. Taufiqurrohman 2211010054

    BalasHapus
  4. Tania Aliyatul Azzahra 2211010046 wah keren sekali

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama