Pergerakan dan Bidang Muhammadiyah di Kabupaten Banyumas

Latar belakang berdirinya Muhammadiyah di Purwokerto Kabupaten Banyumas. Mengenai latar belakang lahirnya gerakan Muhammadiyah di Kabupaten Banyumas pada umumnya dan Purwokerto pada khususnya, berarti berbicara tentang suasana keagamaan masyarakat Muslim Purwokerto atau Kabupaten Banyumas pada sekitar tahun 1920. Pada dekade kedua awal abad kedua puluh, sesungguhnya terdapat suatu fenomena umum yang melanda umat Islam di seluruh dunia. Antara lain: pertama, sikap taqlid (penerima fatwa dan amal perbuatan yang diakui sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah); kedua, tertutupnya pintu ijtihad(usaha dan daya secara bersungguh-sungguh untuk menemukan tafsir dan pendapat tentang sesuatu soal); ketiga, kecenderungan pengajaran Islam tradisional yang berbau tasawuf atau mistik; keempat, tercampurnya praktik-praktik bid’ah, takhayul dan khurafat dalam pengalaman keagamaan umat Islam; serta kelima, adanya penghormatan yang berlebih lebihan terhadap guru atau kyai (Suwarno & Asep, 2013: 29).

Berkaitan dengan kecenderungan pengajaran Islam tradisional yang berbau tasawuf atau mistik tercermin dari tumbuh suburnya gerakan atau kelompok tarekat. Tarekat berasal dari kata thariqah yang berarti jalan. Maksudnya tarekat yang bersangkutan mampu memberi jalan pada pengikutnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau malahan bersatu dengan Tuhan. Dalam masyarakat Muslim Indonesia terdapat 3 tarekat yang populer yaitu Naqsyabandi (didirikan oleh Syaikh Baharudin Naqsyabandi), Syathariyah (didirikan oleh Syaikh Syathari) dan Qadariyah (didirikan oleh Syaikh Abdul Qadiral-Jailani, 1077-1166 M). Dalam hal-hal praktik bid’ah, takhayul dan khurafat (TBKh) tampak dari tetap hidup berlangsungnya kepercayaan animisme adalah kepercayaan bahwa arwah nenek moyang nurya kekuatan untuk melindungi desa atau sawah, mendatangkan berkah atau bencana, menyembuhkan atau menyebarkan penyakit dan sebagainya (Suwarno & Asep 2013: 30). 

Dapat dikatakan bahwa sebagian umat Islam di Purwokerto adalah penganut aliran tarekat. Tarekat yang banyak diikuti ialah tarekat Nagsyabandiyah dan Qadariyah. Aliran tarekat ini berpusat di masjid, langgar atau pondok pesantren. Biasanya pemimpin tarekat mendirikan masjid atau langgar. Di Dekat masjid atau langgar itu, dibangun sebuah pondok untuk mengadakan suluk, di bawah bimbingan sang guru. Salah satu pondok pesantren yang melakukan aktifitas amaliah tarekat Naqsyabandiyah ialah pondok pesantren yang dipimpin oleh Kyai Haji Abdul Manan. Pondok pesantren ini sering melakukan suluk pada bulan Mulud (rabi’ul Awal), syuro (Muharram) dan poso (Ramadhan). Pengaruh tarekat Qadariyah dapat diidentifikasi dari amalan penghormatan terhadap Syaikh Abdul Qadir Jailani pada waktu diselenggarakan tahlilan, misalnya dalam kalimat “.....khususuhon ila khadrati Syaikh Abdul Qadir Jailani Abdul Hasani alfatihah” (Suwarno, 1997:10). Suasana keagamaan masyarakat Muslim Purwokerto yang demikian itu, kemudian mengalami perubahan secara berangsur-angsur, terutama sejak kedatangan pendiri Muhammadiyah, Kiyai Dahlan ke Purwokerto pada tahun 1920 untuk mengadakan tabligh akbar. Tabligh akabar ini telah memperoleh izin dari Hoofd penghulu Purwokerto yang ketika itu dijabat oleh R. Mochamad Dirjo (Suwarno, 1997:11).

Pusat gerakan Muhammadiyah yang kami kunjungi berlokasi di Jl. Dr. Angka No.1, Karangjengkol, Sokanegara, Kec. Purwokerto Tim., Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah 53115. Pimpinan Daerah Muhammadiyah atau yang disingkat PDM di Banyumas diketuai oleh Bapak Drs. M. Djohar, M. Pd.

Sebagai organisasi islam terbesar yang diakui di Indonesia ini, tentunya Muhammadiyah memiliki berbagai pergerakan dan bidang dalam lingkupan roda organisasinya. Dalam wawancara kami dengan Pak Karlan selaku salah satu tokoh yang memiliki wewenang di PDM, beliau menjelaskan bahwa Muhammadiyah itu tidak hanya mengurusi dan mengelola dalam urusan keagamaan saja, atau yang mungkin biasanya dilihat terkait dengan masjid, amal usaha, atau lain-lain.

Namun, Muhammadiyah berperan juga dalam bidang wakaf, perekonomian, jama’ ta’lim, politik, HAM, Tarjih, Tajdid, Tabligh, Majelis Ekonomi, Majelis Informasi, Seni Budaya, Jual beli online, Majelis Pertanian (Jama’ Tani Muhammadiyah), Pendidikan Formal dan Nonformal, juga Pendidikan Pondok Pesantren (Pembina dan pengembangan Ponpes Muhammadiyah) dan lainnya ada sekitar 21 majelis islam di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banyumas yang mana seluruh bidang dan pergerakan ini bergerak pada fungsinya dan memiliki kepengurusannya masing-masing.

Apabila dipaparkan satu persatu berdasarkan data yang kami terima, wakil ketua 1 atas nama Bapak Mintaraga Eman Surya, Lc., M.A memiliki peran penting dalam Majelis Tarjih dan Tajdid, Lembaga Pembinaan, Pengembangan Pengembangan Ponpes Muhammadiyah, dan Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting. Kemudian, Bapak Amrullah Sucipto Aji, S.Sos selaku wakil ketua 2 memiliki peranan dalam bidang Majelis Tabligh, LAZISMU, dan Lembaga Pembinaan Masjid dan Musholla Muhammadiyah.

Lebih lanjut lagi, kami juga dikenalkan dengan wakil ketua 3 yang terdapat pada struktur organisasi, dengan nama Bapak Dr. Abdul Aziz Nasihuddin, SH yang memiliki kedudukan di Majlis Hukum dan HAM, Majelis Lingkungan Hidup, dan Lembaga Pembina dan Pengawas Keuangan. Selanjutnya, kedudukan Wakil Ketua 4 dimiliki oleh Bapak Drs. Agus Miftah yang bertanggung jawab di bidang Majelis Pelayanan Sosial serta Majelis Ekonomi Bisnis dan Pariwisata.

Wakil ketua 5 pada struktur organisasi ini diduduki oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto saat ini, yaitu atas nama Bapak Dr. Jebul Suroso, M. Kep., yang ditugaskan di bidang Majlis Pustaka dan Informasi, serta Majelis Pemberdayaan Masyarakat. Selain itu, masih terdapat empat wakil ketua untuk Pimpinan Daerah Muhammadiyah di wilayah Banyumas lainnya yang tidak dapat kami paparkan satu-persatu.

Sebagai peserta didik, tentunya kami sangat tertarik untuk mengetahui sejarah perjalanan pendidikan Muhammadiyah di Banyumas. Pada lokasi yang kami kunjungi, terdapat bangunan Masjid yang terlihat megah, dan memiliki makna yang cukup sakral. Masjid tersebut dikenal dengan Masjid 17. Berdasarkan artikel yang kami dapat dari Tribun Jateng.com, masjid ini memiliki keunikan tersendiri. Hal ini dikarenakan segala hal yang berkaitan dengan bangunan masjid ini berjumlah 17, seperti jumlah tangga, jendela, dan jumlah tokoh yang memiliki kesamaan visi tentang kemaslahatan umat menggagas pembangunan masjid ini yang juga berjumlah 17 orang.

Sebelum masjid ini ada, sebuah pondok pesantren sudah terlebih dulu didirikan. Keeksistensian dari masjid ini tentunya adalah untuk menimba ilmu agama Islam oleh para santri yang belajar disini. Selain itu, masjid ini juga sempat dijadikan sebagai pusat kajian agama Islam, terutama Muhammadiyah untuk warga sekitar di Banyumas, sekaligus sebagai pusat pengkaderan anggota Muhammadiyah. Masjid 17 masih menjadi saksi sejarah perkembangan pendidikan Muhammadiyah di Purwokerto hingga saat ini.

Zaman terus berubah, dan pondok pesantren Muhammadiyah kini telah bertransformasi. Di sekitar komplek Masjid 17, bangunan modern untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama telah didirikan, salah satunya yaitu SMP 1 Muhammadiyah, yang berlokasi tepat di samping Masjid 17. Pihak pengelola pun terus mengembangkan amal usahanya dengan giat, sehingga saat ini terdapat Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), kampus yang kami tempati saat ini.

Informan : Bapak Karlan sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah sekaligus pengurus organisasi di PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) / Masjid 17  di Jl. Dr. Angka, Karangjengkol, Sokanegara, Kec. Purwokerto Tim., Kabupaten Banyumas.

Penulis : Consenda Syabila Anali, Kemala Diah Tri Hayati, Hanggayuh Sapna M, Risma Emiliani Putri, Zahra Aqila Nurmaputri, Putri Syahara Arini (mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammdiyah Purwokerto)



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama