Begini Rasanya Hidup Di NU dan Muhammadiyah

Keberadaan organisasi masyarakat di Indonesia berperan sebagai pembawa damai dan membantu menciptakan suasana kondusif yang dapat mengantisipasi potensi konflik kepentingan di masyarakat. Oranisasi masyarakat ini turut serta dalam pembangunan bangsa yang berorientasi pada kesadaran hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demikian pula dengan kehadiran organisasi masyarakat keagamaan terutama organisasi masyarakat Islam yang telah memberikan warna tersendiri bagi bangsa Indonesia baik dari sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Faktanya, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan ormas terbesar dan terpopuler di Indonesia yang anggotanya tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kedua ormas ini selalu menjadi rujukan kuat dalam bidang keagamaan, sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik.

Sejujurnya sejak saya kecil saya kurang begitu paham mengenai organisasi keagamaan Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ini. Namun seiring berjalannya waktu saya mulai mengerti sedikit demi sedikit mengenai kedua ormas besar ini. Berawal dari rasa penasaran saya mengenai perbedaan waktu mulai puasa dan hari raya idul fitri di sekitar lingkungan rumah saya. Dari yang saya amati, terdapat perbedaan dalam penetapan waktu awal puasa 1 Ramadhan antara Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Hal ini menurut peneliti dari Kementerian Agama RI, Suhanah, penyebab perbedaan penetapan awal Ramadan ditinjau dari aspek metodenya. NU menggunakan metode rukyat (mengamati hilal secara langsung), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (perhitungan). Saya berpikir mau ikut yang manapun tidak jadi masalah yang penting tujuan dan niatnya adalah untuk berpuasa beribadah kepada Allah swt.

Ketika saya duduk di bangku Sekolah Dasar, saya ingat pernah diajari doa iftitah oleh guru Pendidikan Agama Islam di kala itu. Beliau mengajarkan doa iftitah yang berbunyi “Allaahu Akbaru kabira wal hamdu lillahi kathira, ....” hingga saya hafal dan mulai menggunakan itu sebagai doa iftitah saat sholat. Dulu saya yang masih kurang mengerti tentang Muhammadiyah pun mengira bahwa doa iftitah hanya apa yang diajarkan di sekolah sewaktu itu. Hingga pada akhirnya sewaktu ketika saya mengaji di lingkungan rumah, saya diajarkan doa iftitah yang berbeda oleh guru mengaji saya. Saya diajari doa iftitah yang awalannya berbunyi “Allahumma bait baini wa baina ....”. Sejak waktu itu saya menjadi hafal kedua doa iftitah tersebut dan mulai menggunakannya secara bergantian sesuai keinginan. Lambat laun saya mulai mengerti ternyata kedua doa iftitah tersebut telah identik dengan masing – masing kubu, doa iftitah “Allaahu Akbaru kabira wal hamdu lillahi kathira, ....” yang orang – orang sebut sebagai bacaan doa sholat NU dan yang “Allahumma bait baini wa baina ....” sebagai bacaan sholat orang Muhammadiyah. Bagi saya sendiri tidak mau ambil pusing karena saya telah hafal kedua doa iftitah tersebut maka  yang saya lakukan adalah bergantian menggunakan salah satunya tiap beribadah. Saya yakin diantara keduanya tidak ada yang salah, kembali lagi semuanya tergantung niat kita untuk beribadah.

Saya mempunyai budhe yang seringkali ikut berziarah bersama rombongan para peziarah. Saat saya berumur belasan tahun saya selalu bertanya pada budhe saya itu ketika saya lihat beliau hendak berpergian, saya bertanya padanya akan pergi kemana dan jawaban beliau sering kali sama, yaitu akan pergi berziarah. Menurut beberapa orang dan artikel yang pernah saya baca di internet, dalam NU pergi berziarah untuk mendoakan orang yang sudah meninggal diperbolehkan sedangkan bagi Muhammadiyah kegiatan berziarah ke makam orang yang sudah meninggal tidak dilakukan, bagi mereka mendoakan orang yang sudah meninggal bisa dilakukan dimana saja contohnya di rumah, masjid, mushola dan sebagainya tidak harus mengunjungi makamnya. Hal ini disebabkan karena orang Muhammadiyah khawatir jika hal ini malah disalah gunakan oleh orang - orang misalnya menjadikan makam sebagai perantara berdoa dan berdoa meminta kepada orang yang sudah meninggal, bukannya untuk mendoakan orang yang sudah meninggal.

 Pada NU dan Muhammadiyah juga terdapat sedikit perbedaan dalam menjalankan ibadah sholat, yaitu NU menggunakan doa qunut sedangkan Muhammadiyah tidak dan dalam pelaksanaan sholat tarawih, NU biasanya menunaikan sholat terawih sebanyak 20 rakaat seedangkan Muhammadiyah melaksanakan tarawih sebanyak 8 rakaat. Berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, rumah saya bersebelahan dengan mushola. Ketika saya menjalankan sholat di mushola terdekat dengan rumah, saya terkadang menggunakan doa qunut namun ada kalanya juga tidak, tergantung imam sholatnya. Lalu saat melaksanakan tarawih di mushola dekat rumah, jumlah rakaatnya 8 tetapi saat saya melaksanakan tarawih di masjid jumlah rakaatnya 20. Bagi saya sendiri ibadah itu yang penting niatnya jadi meskipun dalam pelaksanaannya sedikit berbeda tergantung tempat dilaksanakannya.

Saya sempat bertanya kepada bapak pemilik kost yang saya tempati saat ini terkait perbedaan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), beliau mengatakan bahwasanya kedua ormas besar ini NU dan Muhammadiyah pada dasarnya sama saja, sama sama Islam yang bertujuan beribadah kepada Allah swt dan berpedoman pada Nabi dan Rasul serta Al – Qur’an dan sunnah yang sama. Hanya saja terdapat segelintir perbedaan dalam tata cara menjalankan beberapa jenis ibadah sesuai keyakinan dari masing masing ormas Islam tersebut. Menurut pendapat beliau juga sebenarnya kedua ormas ini sama sama menjalankan perintah Allah swt yaitu untuk beribadah pada-Nya, namun bedanya jika di NU mereka tetap melakukan amalan amalan sunnah sedangkan di Muhammadiyah untuk amalan sunnah sendiri ada yang tidak dilaksanakan. Akan tetapi namanya amalan sunnah yakni akan mendapat pahala bila dilakukan dan tidak pula dosa bila tidak dilakukan, semuanya kembali ke pribadi masing – masing.  Baik NU ataupun Muhammadiyah tidak ada yang sulit karna pada dasarnya Islam adalah agama yang mudah dipahami,

Menurut saya pribadi, beberapa perbedaan yang terdapat pada kedua organisasi masyarakat ini sebaiknya digunakan untuk saling melengkapi di dalam masyarakat. Kita tidak dapat menentukan siapa yang benar dan kurang benar disini karena saya percaya bahwa keduanya sama sama memiliki nilai – nilainya kebaikannya sendiri, semua kita kembalikan lagi ke kepercayaan masing – masing. Terlebih lagi, entah itu Nahdatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah keduanya sama – sama menjunjung agama Islam, bedanya ada pada cara pandangnya terhadap hukum (boleh-tidaknya) suatu amalan, jadi semuanya kembali ke niat kita masing – masing sebagai induvidu dalam beribadah kepada Allah swt. Saya menganggap diri saya sendiri netral sampai sekarang, saya masih terus belajar dan berusaha menyesuaikan diri dalam mengamalkan ajaran dari manapun entah itu Nahdatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah, hal - hal yang sekiranya masuk di akal saya dan mengarah ke kebaikan tentunya layak untuk dipertimbangkan agar dicontoh dan dijadikan panduan, namun semua itu kembali ke kepercayaan tiap orang masing– masing.  

Penulis : Mellysa Dwi Rossita (Mahasiswa Prodi Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah Purwokerto)



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama